OPINI:
KABARBERITAINDONESIA.COM
BOGOR - Program pemberdayaan masyarakat menjadi salah satu pilar utama dalam pembangunan desa yang berkelanjutan. Seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemberdayaan masyarakat memiliki peran strategis dalam menciptakan desa yang mandiri, sejahtera, dan berdaya saing. Dalam konteks ini, Dana Desa diharapkan menjadi instrumen yang efektif untuk mendorong pencapaian tujuan tersebut. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa program pemberdayaan yang berkelanjutan di tingkat desa masih sangat minim. Meskipun Dana Desa terus meningkat setiap tahunnya, banyak desa yang belum berhasil mengoptimalkan potensi pemberdayaan yang seharusnya dapat mengubah struktur sosial dan ekonomi mereka.
Menurut teori pemberdayaan, konsep ini bukan hanya tentang memberikan bantuan atau fasilitas, tetapi lebih kepada meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya mereka secara mandiri dan berkelanjutan. Pemberdayaan yang berhasil tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara material, tetapi juga memperkuat kapasitas sosial mereka, mengurangi ketergantungan, dan membangun rasa tanggung jawab bersama. Teori pemberdayaan ini, seperti yang dikemukakan oleh Sen (1999) dalam bukunya Development as Freedom, menggarisbawahi bahwa pemberdayaan adalah proses untuk memperluas kemampuan individu dan masyarakat dalam memilih dan mewujudkan kehidupan yang mereka anggap berharga.
Namun, meskipun terdapat potensi besar, pelaksanaan program pemberdayaan di banyak desa tidak sesuai dengan harapan. Sebagian besar Dana Desa masih digunakan untuk proyek-proyek infrastruktur fisik, seperti pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya. Sementara itu, program pemberdayaan masyarakat sering kali menjadi prioritas kedua, jika tidak terabaikan sama sekali. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam pemanfaatan Dana Desa, di mana pembangunan fisik lebih diprioritaskan daripada pengembangan kapasitas masyarakat yang seharusnya menjadi fokus utama.
Beberapa contoh desa yang berhasil memanfaatkan Dana Desa untuk pemberdayaan masyarakat, seperti Desa Ponggok di Klaten dan Desa Kutuh di Bali, menunjukkan bahwa dengan perencanaan yang baik dan partisipasi masyarakat yang aktif, Dana Desa dapat menjadi motor penggerak perubahan. Desa Ponggok, misalnya, berhasil mengelola sektor wisata air melalui BUMDes Tirta Mandiri, yang tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga meningkatkan pendapatan desa secara signifikan. Keberhasilan tersebut tidak terjadi begitu saja, melainkan berkat adanya visi yang jelas, perencanaan yang matang, serta kolaborasi antara pemerintah desa, masyarakat, dan sektor swasta. Namun, sebagaimana banyak desa lainnya, tantangan besar dalam implementasi pemberdayaan adalah ketidaksiapan aparatur desa dan keterbatasan kapasitas dalam merencanakan dan melaksanakan program yang berkelanjutan.
Menurut teori governance, pengelolaan yang baik membutuhkan keterlibatan berbagai pihak dalam proses perencanaan dan implementasi. Dalam konteks ini, musyawarah desa seharusnya menjadi mekanisme yang inklusif, yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam merumuskan dan mengawasi program-program pembangunan. Namun, seringkali musyawarah desa hanya menjadi formalitas tanpa melibatkan masyarakat secara substantif. Hal ini menyebabkan program-program yang dilaksanakan tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat, atau bahkan tidak memiliki daya guna jangka panjang.
Selain itu, keterbatasan kapasitas aparatur desa menjadi kendala yang tak bisa diabaikan. Banyak kepala desa dan perangkat desa yang masih terbatas pengetahuan dan keterampilannya dalam merancang program pemberdayaan yang inovatif dan berkelanjutan. Hal ini berpotensi menghambat jalannya program pemberdayaan yang efektif. Sebagai contoh, banyak desa yang kesulitan untuk mengelola potensi sektor pariwisata, pertanian, atau kerajinan tangan, meskipun potensi tersebut ada dan sangat besar. Jika tidak ada peningkatan kapasitas dan pendampingan teknis yang memadai, maka Dana Desa yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan justru dapat menjadi sia-sia.
Dalam upaya mengatasi tantangan tersebut, teori partisipasi sosial memberikan landasan yang kuat untuk mendorong pemberdayaan masyarakat. Teori ini menyatakan bahwa untuk mencapai pembangunan yang inklusif, penting untuk melibatkan masyarakat dalam setiap tahapan, mulai dari perencanaan hingga evaluasi. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa setiap kebijakan dan program pemberdayaan yang dijalankan mengutamakan prinsip partisipasi dan kolaborasi yang luas, termasuk dengan masyarakat, lembaga pendidikan, serta sektor swasta.
Pemerintah pusat dan daerah memiliki peran kunci dalam mendorong keberhasilan program pemberdayaan masyarakat. Pemerintah pusat, melalui kebijakan yang jelas dan terarah, harus memastikan bahwa Dana Desa dialokasikan secara proporsional untuk pemberdayaan masyarakat, bukan hanya untuk pembangunan infrastruktur fisik. Kebijakan ini bisa mencakup kewajiban bagi desa untuk menyisihkan sebagian dana untuk program pemberdayaan yang melibatkan masyarakat secara langsung. Selain itu, pemerintah juga harus menyediakan pendampingan teknis melalui lembaga-lembaga negara atau program nasional, seperti pendamping desa, untuk memastikan bahwa program pemberdayaan yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Di tingkat daerah, pemerintah provinsi dan kabupaten harus lebih proaktif dalam memberikan arahan, bimbingan, dan pelatihan kepada aparatur desa. Meningkatkan kapasitas aparatur desa melalui pelatihan-pelatihan yang relevan akan sangat membantu dalam merencanakan dan melaksanakan program pemberdayaan yang efektif. Selain itu, koordinasi antara pemerintah daerah dan pemerintah desa sangat penting untuk memastikan bahwa program yang dilaksanakan benar-benar sesuai dengan kebutuhan lokal dan dapat menjawab tantangan yang ada.
FORMADES, sebagai bagian dari gerakan pembangunan desa, berkomitmen untuk mendorong adanya program pemberdayaan masyarakat yang lebih masif, transparan, dan berkelanjutan. Salah satu langkah penting yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa setiap proses musyawarah desa benar-benar inklusif dan melibatkan semua elemen masyarakat. Ini akan memastikan bahwa program yang direncanakan sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat dan berbasis pada potensi lokal. Selain itu, penguatan kapasitas aparatur desa dalam perencanaan dan pengelolaan program pemberdayaan harus menjadi prioritas, sehingga mereka dapat menjalankan program dengan lebih profesional dan efektif.
Peningkatan kolaborasi antara desa dan pihak eksternal juga sangat penting untuk memperkuat keberlanjutan program pemberdayaan. Kemitraan dengan NGO, akademisi, dan sektor swasta akan membuka akses desa terhadap sumber daya tambahan, seperti teknologi, pendanaan, dan jaringan pasar. Kolaborasi ini diharapkan dapat membantu desa mengatasi berbagai tantangan dalam menjalankan program pemberdayaan secara mandiri dan berkelanjutan. Selain itu, penerapan sistem monitoring dan evaluasi yang ketat, di mana masyarakat dilibatkan dalam pengawasan, akan memastikan bahwa pengelolaan Dana Desa tetap transparan dan akuntabel.
Akhirnya, untuk memastikan keberlanjutan pemberdayaan masyarakat di tingkat desa, diperlukan kebijakan yang mengintegrasikan program-program pemberdayaan dengan kebijakan nasional dan daerah, seperti ketahanan pangan, pengembangan wisata lokal, dan pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas. Sinergi antara kebijakan desa dan kebijakan nasional akan memperkuat posisi desa sebagai motor penggerak pembangunan yang berkelanjutan, sekaligus menciptakan desa yang mandiri dan berdaya saing di masa depan.
Dengan langkah-langkah ini, Dana Desa dapat menjadi instrumen yang efektif dalam pemberdayaan masyarakat, menciptakan desa yang mandiri dan sejahtera, serta mendukung terciptanya pembangunan yang berkelanjutan di seluruh Indonesia.
Oleh: Yoseph Heriyanto
Ketua Bidang Litbang dan Inovasi Forum Membangun Desa (FORMADES)
Posting Komentar